Pulang Nonton

Selain sibuk membuat pemutaran sendiri, Kinoki juga (harus) rajin menghadiri pemutaran komunitas-komunitas lain baik yang kerjasama sama kinoki atau bukan. Tulisan ini adalah catatan-catatan kecil dari obrolan setelah pulang penonton.
Suatu kali, pernah seorang moderator bertanya pada sutradaranya di tengah diskusi, "Susah yah, buat film?" Si sutradara jelas mengangguk dan mengiyakan. Setelah itu, ia sibuk menceritakan kendala-kendala dari mulai mencari ide sampai acara syuting. Ku pikir, semua orang setujuh buat film itu susah dan mahal. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita yang kebagian tugasnya menonton, memperlakukan film dengan selayaknya. Masih banyak penyelenggara acara yang tidak memperhatikan hal ini. Contoh sederhana, di sebuah pemutaran yang memutar film dengan laptop dan proyektor. Tak ada yang salah sebenarnya, hanya saja saat film tiba-tiba macet ditengah-tengah atau gambarnya patah-patah sepanjang durasi, bukankah sangat menganggu (apalagi bila penyelenggara tidak berbuat sesuatu). Laptop sangat sensitif,jadi bila ingin memutar menggunakan laptop, lebih baik filenya di simpan dulu di hardisk laptopnya. Opsi paling baik adalah menggunakan dvd player, ini juga memudahkan bila nanti butuh memforward atau rewind filmnya saat diskusi.
Masalah lain yang sering muncul adalah kondisi ruangan. Ruang menonton sebenarnya bisa dimana saja, bahkan outdoor sekalipun. Selama ini, kebanyakan pemutaran yang telah dihadiri, berada di dalam ruangan. Tapi, terkadang penyelenggara lupa membuat ruangan benar-benar gelap hingga penonton bisa fokus menonton. Mata manusia sangat saccadic, jadi bila ada hal lain di sekitar layar yang menggangu, bisa membuat penonton tidak fokus. Jadi lebih baik bila semua sumber cahaya ditutup. Hal lain, adalah suara. Pernah, ada pemutaran yang mneghadap ke jalan, jadi suara kendaraan akan berlomba dengan suara film.
Beberapa pemutaran sudah sangat nyaman. Diskusi yang diadakan setelah menonton pun cukup menyenangkan. Banyak yang bertanya baik maupun isu yang diangkat di dalam film atau film itu sendiri. Yang hadir pun lumayan, tak pernah ada pemutaran yang sepi.Ini membuktikan bahwa apresiasi penonton ada.

Jogja On My Mind

Hari-hari pada minggu pertama ini memang akan menjadi pertanda walau bukan patokan akan seperti apa Mari Menonton ke depan. Walau FKY baru berlangsung tiga hari dan pengunjung belum banyak yang tahu, Mari Menonton telah kedatangan cukup banyak pengunjung. Dari yang hanya celingukan, bertanya, mengambil jadwal, hingga akhirnya memutuskan untuk menonton.

Awalnya sempat diragukan apakah film-film yang disuguhkan akan mendapat reaksi yang cukup baik karena sempat terjadi kesalahan judul film di news letter FKY. Namun, pengunjung ternyata lebih penasaran dengan film-film yang tercetak di newsletter Mari Menonton. Dari pada menanyakan film-film popular yang telah terlanjur tercetak, seperti Mengejar Mas Mas dan Anna Van Jogja.

Peminat setiap film pun beragam, baik jumlah maupun segmen, Enam Jam di Jogja misalnya. Film yang diproduksi tahun 1951 ini ternyata mendapat sambutan yang positif. Untuk seminggu dengan tiga kali tayang, penonton mencapai angka enam puluh orang. Sebagian besar yang menonton malah anak kuliahan. Gambar yang masih hitam putih, kualitas suara yang tidak terlalu jelas, dan tema yang tidak terlalu popular tak mengurungkan niat mereka untuk menikmatinya. Hari-hari pertama memang panitia bermasalah dengan sound system, selain memang dvd film ini kualitasnya kurang baik. Mungkin Jogja sebagai latar membuat film ini jadi menarik. Banyak penonton yang sibuk menerka-nerka di mana film ini berlatar dan terlihat seperti apa Jogja tahun 1951.

Cintaku di Kampus Biru malah memberi kesan tersendiri. Film ini memang lebih popular dibanding yang lain. Film yang berlatar di Universitas Gadah Mada ini pada hari kelima, tepatnya sabtu malam, tiket sampai terjual habis., yaitu lima puluh tiga orang. Yang menonton tentu saja kebanyakan anak UGM yang ingin melihat rupa kampus mereka jaman saat Roy Marten (pemeran utamanya) masih muda. Namun, tak hanya latar, filmnya pun sangat menghibur. Perbedaan generasi malah membuat film ini jadi lebih menarik. “Semua terasa lucu.” Ungkap salah satu penonton setelah film usai. Memang, cara bicara dan bercanda, jenis motor, hingga mode berpakaian sudah sangat berbeda dan itu mengundang tawa.

Diantara tiga film panjang yang dihadirkan, Penginapan Bu Broto adalah yang paling sepi peminat. Jumlah penontonnya hanya mencapai 16 orang. Film yang dibuat berdasarkan serial Losmen televisi ini sebenarnya bergenre komedi tapi entah mengapa penonton tak terlalu tertarik, mungkin karena tak terlalu banyak sisi Jogja yang bisa dilihat.

Sisanya, Mari Menonton menyajikan kompilasi Fourcolours Films, rumah produksi yang film-filmnya terasa sangat Jogja. Layaknya sebuah kode etik jurnalisme, cover both side, film-film ini disajikan sebagai pembanding. Empat film yang diputar, yaitu Mayar, Bedjo Van Deerlak, Harap Tenang Ada Ujian, dan Jalan Sepanjang Kenagan. Kompilasi ini juga tak terlalu banyak penontonnya. Banyak faktor sebenarnya, seperti hujan dan kurangnya keterangan tentang film apa yang sebenarnya diputar karena yang tertulis di Neswletter hanya sebatas “Fourcolours Kompilasi #1” Namun, di hari terkahir pemutaran minggu itu, pengunjungnya lumayan. Beberapa mengaku puas (terhibur) dengan filmnya walau juga banyak keluhan, seperti kurang bagusnya kualitas gambar ataupun sampai tak terlalu mengerti apa pesannya.

Namun, ada yang lebih menarik dari film-film yang disajikan, selain angka-angka jumlah penonton., yaitu representasi Jogja dalam film-film tersebut. Sepanjang film-film ini diputar, film-filmnya jadi sangat terasa tidak Jogja. Persoalannya sederhana, film yang baru-baru ini, yang banyak beredar di bioskop mencitrakan Jogja dengan sangat berbeda. Dalam film-film Mengejar Mas Mas ataupun Otomatis Romantis, semuanya sepakat bahwa apapun yang berhubungan dengan Jogja akan berakhir pada lugu, ndeso, dan medok. Bahasa Jawa atau logat medok jadi keharusan setiap menampilkan Jogja. Namun, pada film-film panjang yang diputar, tak terdengar logat-logat itu. Bila penonton jeli, akan sangat terasa bahwa film-film ini tak merasa bahwa medok dan ndeso adalah identitas mutlak kota Jogja. Bagaimana Anton, tokoh utama Cintaku di Kampus Biru cerdas dan penakluk wanita.

Seminggu telah berlalu. Beberapa penonton mungkin telah lupa bagaimana cerita film-film tersebut atau siapa nama tokohnya. Namun, suatu saat, ketika seseorang akan membuat film dengan Jogja sebagai latarnya, mungkin ingatan tentang film-film itu akan kembali. Penonton akan kembali mengingat bahwa ada film yang bisa mencitrakan Jogja dengan cara yang berbeda. Tak seperti orang yang sibuk bertanya di mana letak persis latar atau lokasi syuting film-film tersebut, citra Jogja sebenarnya adalah yang lebih penting dari segalanya. Karena ketika bicara Jogja, kita tidak akan hanya bicara tentang alamat, namun juga budaya, tradisi, dan kembali lagi citra.

: Corry E

Daily is NOT fairy

Pekan kedua Mari Menonton adalah milik para pecinta dokumenter. Dengan mengusung tema “Daily is Not Fairy”, Mari Menonton menyajikan film-film dokumenter sebagai program utama.

Mari Menonton; Dari Amerika sampai Banyumas

Minggu kedua dibuka dengan pemutaran perdana film dokumenter karya Tonny Trimarsanto berjudul “In the Shadow of Flag”. Film ini bercerita tentang kondisi Timor Leste 5 tahun setelah kemerdekaannya dari Indonesia dari mata dua orang aktivisnya, Maria dan Thomas. Mereka adalah aktivis yang mendorong kemerdekaan Timor dan saat ini, mengambil sikap kritis terhadap pemerintah yang mereka perjuangkan. Masalah-masalah politik, keamanan, pengangguran, dan kesejahteraan menjadi perhatian utama. Bagaimana sebuah kemerdekaan tak menjadi akhir sebuah perjuangan namun ternyata adalah awal dari segalanya. Bekerjasama dengan Progressio, sebuah lembaga sosial masyarakat dari Inggris yang bekerja untuk keadilan dan pengentasan kemiskinan, film ini dibuat murni sebagai bahan pembelajaran.

Setelah libur satu hari, sisa minggu kedua ini diisi Mari Menonton dengan kompilasi film-film dari beberapa negara dan daerah. Ada film dokumenter dari Amerika dan kompilasi film dari Prancis, Jakarta, dan Banyumas. Hari pertama adalah pemutaran film dokumenter asal Amerika yang berjudul “The Cats of Mirikitani” karya Linda Hattendorf. Dengan durasi tujuh puluh empat menit, Linda menyuguhkan cerita seniman tua yang begitu kecewa dengan pemerintah Amerika.Film dokumenter ini bercerita tentang Jimmy Mirikitani, seorang keturunan Jepang yang terpaksa tinggal di kamp Tule Lake ketika perang dunia II. Jimmy yang sebenarnya warga Negara Amerika terlanjur kecewa dengan perlakuan pemerintah Amerika hingga, setelah ia dibebaskan, ia tak ingin memulihkan status kewarganegaraannya atau hak-haknya sebagai warga negara. Linda, sang film maker bertemu dengannya dan mulai membantunya.

Film koleksi FFD ini memang lain dari film dokumenter Amerika yang biasa dinikmati, seperti Inconvenient Truth karya Algore atau Psycho karya Moore.

Pemutaran dilanjutkan dengan kompilasi bertajuk “9808”. Kompilasi ini merupakan antologi film 10 tahun reformasi Indonesia. Film pendek yang berjumlah sepuluh ini merupakan karya dari banyak sutradara film pendek terkenal dan terbaik yang dimiliki Indonesia. Nama-nama tersebut adalah Anggun Priambodo, Ariani Darmawan, Edwin, Hafiz, Ifa Isfansyah, Lucky Kuswandi, Otty Widasari, Wisnu SP, Ucu Agustin, dan Steven Pillar. Selain dokumenter, beberapa film juga merupakan fiksi. Beberapa digarap sangat sederhana, hanya dengan foto atau gambar percakapan beberapa orang. Contohnya adalah Dimana Saya? Yang hanya menampilkan foto dengan suara Narator masing-masing tokoh. Film ini menceritakan di mana para tokoh dan apa yang mereka kerjakan saat tragedi Mei terjadi. Beberapa adalah film cerita, seperti Huan Chen Guang karya Ifa Isfansyah dan Trip to the Wound karya Edwin. Walau dinaungi oleh satu tema, film-film kompilasi ini punya rasa yang berbeda-beda. Beberapa sangat sedih, menohok, namun juga ada yang ringan, dan menghibur namun tetap kritis. Salah satu contohnya adalah film Ariani Darmawan berjudul Sugiharti Halim yang banyak mengundang tawa. Berbeda dengan durasinya yang pendek, film-film ini memberi kesan yang mendalam dan sarat isi dan makna.

Hari terakhir minggu kedua ini ditutup oleh dua kompilasi, yaitu Ngapak Attack dan Courts de Recre. Ngapak Attack merupakan kompilasi dari film-film yang diproduksi oleh film maker Banyumas dan tentang Banyumas. Film-film ini juga tak semuanya dokumenter, beberapa fiksi. Kompilasi Banyumas ini memberikan nuansa berbeda dengan ciri kedaerahan yang kental. Sedangkan Courts de Recre adalah kumpulan film pendek anak-anak Prancis koleksi Lembaga Indonesia Prancis Yogyakarta.

Lokakarya Dokumenter, Ada Banyak Cara Bercerita

Hari kedua dan ketiga, bekerjasama dengan Komunitas Dokumenter, Mari Menonton mengadakan lokakarya Dokumenter, dengan tajuk “Metode Penceritaan dalam film Dokumenter.” Lokakarya ini dibuka untuk umum dan tanpa dipungut biaya. Peminatnya pun cukup banyak, kebanyakan memang dari komunitas film. Henny, direktur Festival Film Dokumenter mengatakan bahwa lokakarya ini dimaksudkan untuk menambah pengetahuan para pembuat film dokumenter. “Lokakarya ini berangkat dari kurangnya referensi para peserta yang berkompetisi di FFD dalam metode penceritaan.” Henny menambahkan bahwa kebanyakan hanya menggunakan cara standar, yakni investigatif dan Voice Over. Padahal, banyak cara lain yang bisa dilakukan, seperti sinema Veritè (metode pengambilan gambar yang lebih dinamis), dll.

Lokakarya ini menampilkan dua pembicara, yaitu Budi Irawanto dosen Komunikasi UGM dan Sandeep Ray, seorang pembuat film dokumenter yang berasal dari India. “Kebetulan ia sedang menempuh program master di UGM. Hingga bisa kita undang kesini untuk jadi pembicara.” Ungkap Henny saat ditanya bagaimana Sandeep bisa menjadi pembicara. Sandeep sengaja dipilih untuk memberikan gambaran lebih luas tentang model penceritaan. Banyak cara lain dan setiap sineas memiliki kecenderungan yang berbeda. Kita memang kurang referensi, tambahnya. Hal ini disebabkan sedikit dan kurang populernya film dokumenter. Bisa dihitung dengan jari berapa banyak film dokumenter yang masuk bioskop atau dvdnya yang beredar.

Selama diskusi terjadi, peserta banyak disodorkan pengalaman nara sumber dalam menentukan metode dan cara apa yang bisa dipakai. Peserta juga antusias dan semangat walau kendala bahasa masih dihadapi. “Kami ingin agar film dokumenter tidak membosankan dan bisa jadi tontonan yang populer dan dinikmati banyak kalangan.” Kata Henny saat ditanya apa sebenarnya tujuan akhir dari lokakarya ini.

: Corry E.

Pendek dan Segar : Memasyarakatkan Film Pendek

Dua hari dalam minggu ketiga ini diisi dengan acara tentang distribusi film pendek. Pada hari selasa, tanggal 24 Juni 2008 ada peluncuran dan diskusi dvd koleksi The Marshall Plan (TMP), distributor film alternatif. TMP sebenarnya telah mengeluarkan produk mereka sejak bulan Februari namun memang tak ada peluncuran secara fisik. “Ketika Mari Menonton mengusulkan untuk melakukan peluncuran serta diskusi, kami mengiyakan.Ujar Dimas Djayasrana, salah satu pendiri TMP.

Sejauh ini TMP telah meluncurkan dua DVD, yaitu Repelita I dan Kompilasi Pemenang Festival Konfiden 2006 sejak Februari dan telah terjual 300 keping sejauh ini. Mengenai sistem distribusi, Selama ini TMP mempublikasikan produknya lewat mailist dan menjualnya melalui event-event dan penjualan langsung.

Bagi TMP, produk-produk pertama mereka ini hanya sebagai perkenalan jadi mereka belum begitu memikirkan soal untung. Namun, Dimas menambahkan bahwa ini adalah bisnis yang serius karena mereka tidak ingin berhenti sampai disini. Harapannya TMP bisa terus mendistribusikan film-film pendek Indonesia. TMP berdiri atas alasan apresiasi terhadap sineas film pendek Indonesia yang filmnya selama ini dianggap tidak memiliki nilai jual. Film pendek juga belum punya tempat di ranah distributor besar yang kebanyakan mendistribusikan film panjang. Oleh karena itu, TMP berharap setelah ini akan lebih banyak lagi film-film pendek didistribusikan ke masyarakat hingga lebih banyak yang mengapresiasikannya.

Hari rabunya, Mari Menonton kembali mengadakan diskusi dengan tema Short Films for Sale. Seminar yang dihadiri oleh belasan orang ini dari berbagai kalangan berusaha untuk memberikan wacana tentang kemungkinan penetapan ongkos pemutaran (Screening Fee) dan pembelian hak pemutaran (screening rights) bagi film pendek Indonesia. Seminar ini menghadirkan tiga pembicara, Ronny P Tjandra dari Jive Collection, Dimas Djayasrana, dan Senoaji Julius dan Eddie Cahyono dari Fourcolours Films. Ketiga pembicara ini adalah orang yang bergerak di ranah distribusi film. Ronny P Tjandra adalah distributor yang bergerak di arus utama dengan bendera Jivenya, Dimas dari The Marshall Plan, sedangkan Seno dan Eddie adalah sineas yang sekarang sedang mengusahakan filmnya untuk didistribusikan dalam bentuk kompilasi.

Seminar yang dimulai agak terlambat dari jam semestinya ini cukup menarik. Dunia pendistribusian yang selama ini tertutup dan tak banyak diketahui orang terungkap juga masalah di dalamnya. Dihadirkannya ketiga orang yang secara langsung terlibat dalam dunia distribusi namun dengan ranah yang berbeda memberikan gambaran yang lengkap bagi peserta.

“Logikanya sama seperti grup band. Bila diundang dalam satu acara, pasti ada bayarannya, berapapun itu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.” Ujar Dimas di waktu seminar saat membicarakan mengapa ongkos pemutaran harus diberlakukan. Seno dari Fourcolours juga menambahkan bahwa biaya pemutaran tidak hanya berupa uang namun juga bisa berupa laporan. Bila ada laporan, sineas bisa tahu respon penonton dan itu baik bagi di sineas untuk karya kedepannya.

Seminar yang berlangsung selama dua jam ini bertujuan untuk menyadarkan tidak hanya masyarakat atau pihak pemutar namun juga para sineas tentang nilai apresiasi sebuah karya.

:Corry E.

Industrial Issues

Proteksi dengan Klasifikasi

Klasifikasi adalah sistem pengganti sensor yang sekarang sedang diupayakan oleh Masyarakat Film Indonesia (MFI). Sistem yang lebih demokratis dan terbuka ini banyak menuai kontroversial bagi beberapa pihak. Separuh mengatakan bahwa ini hanya kedok untuk membuat film bebas tanpa batasan, separuh lagi mengatakan ini cara yang lebih baik untuk menyambangi proteksi konsumen, produsen, dan tentu saja hak pilih aktif masyarakat.

Salah satu upaya untuk menggodoknya lebih matang dilakukan di program Mari Menonton selama dua hari (4-5 Juli 2008) di Gedung F Vredeburg. Focus Group Discussion dengan tema “Klasifikasi Cara Saya” ini adalah salah satu rangkaian diskusi MFI dengan banyak pihak yang berkaitan dengan klasifikasi.

Diskusi ini mengundang lima dosen psikologi perkembangan anak dan sosial dari berbagai universitas di Yogya. Lima dosen tersebut adalah Prof. Dr. Endang Ekowarni dan Drs. Fauzan Heru Santhoso dari Universitas Gadjah Mada, Rina Mulyati, S.Psi., M.Si dari Universitas Islam Indonesia, Yohannes Babtista Cahya Widianto S.Psi., dari Sanata Darma, dan Hady Suyono S,Psi., M.Si. dari Universitas Ahmad Dahlan. Sedangkan dari pihak MFI diwakili oleh Lisabona Rahman, Tito Imanda, dan Alex Sihar.

Diskusi hari pertama membahas tentang batasan umur klasifikasi. Sebagai acuan, MFI menawarkan klasifikasi dari BBFC (British Board Of Film Classification). “BBFC adalah sistem klasifikasi yang paling mirip dan rinci untuk Indonesia. Karena itu kita jadikan acuan.” Ucap Tito. Para dosen memberi masukan tentang tahapan-tahapan psikologis seseorang. Dari diskusi ini diketahui bahwa pembagian umur banyak sekali, ada yang berdasarkan pendidikan, sosial, dan kebutuhan. Fenomena hukum Indonesia yang seringkali berbeda tentang pembatasan umur menyebabkan MFI ingin memperjelas apa yang harus dipertimbangkan dalam pembagian umur untuk klasifikasi. “Dalam undang-undang perlindungan anak, definisi umur anak adalah 0-18, sedangkan di ranah lain, 18 tahun sudah dianggap dewasa, sudah boleh ikut pemilu atau bahkan usia boleh menikah kurang dari 18 tahun. Jadi batasannya benar-benar membingungkan.” Ungkap Alex Sihar. Oleh karena itu, akhirnya batasan umur ditentukan oleh tingkat kebutuhan. Pembagiannya adalah 0-12 tahun, 13 – 17 tahun, dan 18 tahun keatas. “Yang terpenting adalah klasifikasi ini melindungi kebutuhan tingkatan umur.” Kata Ibu Endang Ekowarni menegaskan.

Di hari kedua diskusi berlanjut pada pembahasan isi, terutama untuk usia 0-12 tahun. Banyak hal yang dibahas, seperti kekerasan fisik dan verbal, perilaku seks, teknik berbahaya yang bisa ditiru, narkoba, kengerian, dan dampak emosi dari mistikisme. Selain itu, diskusi ini juga membahasa tak hanya isi film, namun juga iklan film dan judul. Misalnya bila klasifikasinya film dewasa, posternya tidak bisa dipasang di tempat umum, hanya boleh di tempat-tempat tertentu. “Bahkan bila ada anak kecil yang main dalam film dewasa, dia tidak boleh untuk hadir di premier atau melihat syuting adegan lain.” Kata Tito menambahkan bahwa klasifikasi akan melindungi hak-hak anak-anak.

Dari diskusi ini diketahui bahwa Klasifikasi sama sekali bukan kedok kebebasan mutlak para pembuat film dan pasar. Hal ini malah menjadi jalan tengah untuk semuanya. Bila ditanya mekanismenya akan seperti apa? Alex mengatakan bahwa sederhananya film tidak akan dipotong. Sutradara dan pihak klasifikan akan banyak berdiskusi, misalnya bila ada kata yang tidak pantas, kita akan berdiskusi dengan sutradara. Kalau iya kata itu bisa diganti, klasifikasi umurnya bisa diturunkan yang berarti juga pasar yang lebih luas.

Perjalanan klasifikasi masih sangat panjang. Banyak orang meragukan sistem ini akan berhasil di Indonesia. Namun seperti jawaban Lisa saat ada yang meragukan sistem ini bisa diterapkan, “Kita optimis dulu lah.”

: Corry E.